Kesenduan Perang, Patung dan Konfrontasi Ruang
Perkembangan seni patung kontemporer di Indonesia mengarah ke dua titik tujuan. Pertama, keniscayaan baru dimana karya-karya patung berkeinginan memasuki wilayah publik. Kedua, praktik seni patung yang menginginkan terjadinya keterkaitan (kuasi) antara dirinya dengan arsitektur. Meskipun demikian, sejak 1970an, bagaimanapun juga usaha-usaha untuk memperluas patung secara definitif bisa kita temukan dalam kategori yang lain. Kategori itu kelak disebut seni instalasi, yang belakangan sempat merumuskan bingkai pemahamannya di dasawarsa 1990an sebagai peluruh batasan antara seni-seni dua dimensional dengan seni-seni tiga dimensional. Definisi seni patung dalam bingkai ini tentu saja menjadi lenyap karena memang tidak lagi menjadi fokus utama dari seni instalasi. Di lain pihak, dunia seni rupa kita semakin menerima istilah seni instalasi sebagai salah satu media alternatif yang terlepas dari kekangan konvensi seni lukis maupun seni patung.
Lalu di dalam praktik kuasi antara seni publik, arsitektur dan instalasi, bagaimana posisi terkini dari seni patung itu sendiri? Apakah masih bisa kita menyebut sesuatu itu adalah karya seni patung - dimana secara terbalik – senimannya ingin diidentifikasi sebagai seni instalasi? Atau, masihkan kita menyebut sesuatu itu karya patung yang dalam praktiknya berkuasi dengan prinsip-prinsip arsitektur?
Seni patung yang menghampiri wilayah publik (disodorkan di tengah-tengah ruang publik) dianggap sebagai perluasan, tidak saja estetik, tetapi terkait pada kehadiran karya tersebut di ruang yang berbeda, yang juga menginginkan terjadinya pemaknaan yang berbeda. Sebab, karya patung di ruang tersebut akan dianggap menyimpang dari koridor institusionalnya, yaitu ruang galeri. Begitupula karya patung yang meminjam kaidah-kaidah arsitektur, dianggap sebagai terobosan demi memperluas lingkup definisi seni patung yang selama ini dianggap menyempitkan ruang kreasi seniman. Kita akan mengatakan bahwa di tengah kondisi demikian, selain tertekan, seni patung mengalami determinasi sampai-sampai melakukan ekspansi ruang yang – ke dalam dirinya - sekaligus mereduksi takdirnya sebagai seni tiga dimensional belaka. Gugatan seniman terhadap keterbatasan ruang institusional pada batas tertentu cukup mengandung argumentasi yang masuk akal. Sementara itu, ditinjau dari perspektif yang lain, gugatan tersebut cenderung mengada-ada.
Sulit dipungkiri, dalam sejarahnya, ruang-ruang institusional seni (baca: galeri) lebih mengandaikan (mengutamakan) pemajangan karya-karya dua dimensional (seni lukis). Tak terkecuali, kondisi ini menimpa pula pertumbuhan galeri di Indonesia. Saya menilai bahwa seluruh motif bawah sadar galeri pada gilirannya adalah motif bawah sadar yang menganut paham dua dimensional. Implikasi pragmatisnya, ruang-ruang institusional seni memang hanya diperuntukkan untuk seni lukis. Dalam batasan ini, sebuah karya yang dianggap menyimpang dari ruang tersebut akan beresiko untuk disebut sebagai ‘bukan-seni’. Akan tetapi, motif bawah sadar ini masih menyisakan toleransinya pada karya-karya yang kelak kita sebut seni patung. Namun segera kita rasakan pula bahwa dalam batasan ini seni patung ‘hanyalah’ karya non-dua dimensional yang (boleh jadi) cukup diletakkan di atas lantai lengkap dengan penyangganya (base).
Bisa kita bayangkan, kalau seluruh motif bawah sadar pendirian galeri di Indonesia condong ke karya seni lukis, maka seni patung hanya akan dianggap sebagai ‘bonus’ terhadap ruang institusional tersebut. Tidak mengherankan apabila kita menyaksikan sendiri bahwa seluruh tradisi pendirian galeri di Indonesia tidak mampu memproyeksikan kemungkinan karya-karya yang advance, yang melampaui (beyond) konvensi. Pendeknya, saya akan mengatakan bahwa seluruh ruang-ruang galeri di Indonesia tanpa disadari justru ‘tidak menginginkan terciptanya perkembangan karya’ selain yang dua dimensional. Situasi ruang yang serba terbatas ini akhirnya menjadi paradigma praktik seni rupa di Indonesia.
Dalam konteks yang lain, situasi demikian akhirnya merembes ke aspek psikologis dalam penciptaan karya seni, sehingga ruang – dalam bayangan seniman – adalah ruang-ruang ilusif yang terbatas pada kain kanvas. Di sini, seniman tidak lagi melihat galeri sebagai ‘ruang’, melainkan sekedar wadah (dinding) yang akan dipajangi oleh sesuatu, bukan ruang yang tercipta melalui hasil negosiasi antara ‘ruang institusional seni’ dengan konsepsi-konsepsi sang seniman itu sendiri. Pemahaman yang berlatar ‘motif bawah sadar’ ini cukup menjelaskan mengapa wacana seni patung (juga seni instalasi) di Indonesia sulit berkembang. Sedangkan perluasan karya yang ke luar ruangan (outdoor/landscape) belum tentu didasari pemahaman terhadap ruang institusional tersebut, melainkan berdasarkan motif seniman agar karyanya mengalami pemaknaan serta perlakuan yang berbeda. Sampai di sini pun, itikad-itikad seniman untuk meletakkan karyanya di luar galeri menemukan kenyataan yang diluar dugaan, dimana argumentasi demikian ternyata tidak serta merta menjelaskan pemahaman kepada publik tentang, mengapa seni patung harus menghampiri ruang yang ‘non-institusional’ tersebut. Dari pemahaman ini pula kita bisa menilai mengapa dalam batas-batas tertentu gugatan seniman untuk keluar dari galeri cenderung mengada-ada. Ditilik dari sisi lain, tanpa disadari seniman, besar kemungkinan paradigma motif bawah sadar ini adalah semata-mata karena pertimbangan pemilik galeri terhadap pasar (art market).
Iswanto Hartono, yang juga seorang arsitek, sepertinya memahami kemelut persoalan di atas. Secara sadar dia menciptakan karyanya untuk dimasukkan ke ruang institusional tersebut, bukan tanpa resiko, sebab dilema antara dikotomi seni patung – seni instalasi masih membalut karyanya. Akan tetapi, kesadaran bahwa konteks karyanya haruslah dibaca sebagai ‘sesuatu’ yang sekaligus berupa kuasi antara seni patung dan instalasi adalah pemaknaan yang ditarik pada persoalan ruang institusional. Karyanya tidak saja melakukan konfrontasi pada ruang galeri, tetapi juga menantang seluruh motif bawah sadar seluruh pendirian galeri di Indonesia. Ukuran karyanya sebesar 15 x 10 meter ini tentunya membutuhkan volume ruang yang memadai dan ukuran yang luas. Bisa kita periksa sendiri, hanya berapa gelintir galeri di Indonesia yang akan sanggup menampung karya sebesar ini.
Dalam prosesnya, Iswanto dengan cermat menghitung ukuran ruang Galeri Soemardja. Ukuran tersebut dijadikan patokan, sekaligus sebagai sandaran dalam proses estetiknya. Dalam perjalanannya, Iswanto akhirnya memutuskan untuk menciptakan replika pesawat tempur. Ide ini, tidak semata hasil menimbang ukuran ruang galeri, tetapi beranjak dari pertimbangan-pertimbangan konsepsinya kelak. Dengan latar belakang arsitek yang kuat, Iswanto jelas terbiasa dalam memahami ruang dan secara leluasa pemahaman ini dijadikan potensi untuk memainkan skala ukuran obyek. Kecermatan hitungan, melakukan konstruksi sebuah obyek hingga eksekusi akhir, bisa dikatakan sebagai bekal awal bagi Iswanto dalam menciptakan sebuah karya. Berbekal kesadaran inilah kita menemukan alasan mengapa karya-karyanya cenderung ke obyek tiga dimensional sekaligus dihasrati sebagai upaya untuk menyikapi skala ruang. Tampak sekali bahwa dalam prosesnya Iswanto tidak sekedar ‘meletakkan sesuatu’ ke dalam ruang galeri sebagaimana lazimnya karya patung modern. Sebaliknya, dia berusaha untuk menjalin ‘kerjasama’ yang komunikatif antara ruang dengan obyek.
Di sisi lain – di dalam ‘kerjasama itu’ - dia juga bersikeras menawarkan konsepsi-konsepsi keseniannya. Pada titik inilah, provokasi serta konfrontasi tehadap ruang itu dimungkinkan. Bagaimanapun, atap beton ruang Galeri Soemardja yang memiliki garis kuat-tebal disandingkan dengan ‘garis-garis tipis’, suatu outline-outline layaknya kerja gambar. Konstruksi garis-garis tipis tersebut mengonstruksi (obyek) pesawat yang tidak masif, tidak memiliki kepejalan sebab tidak memiliki volume. Pesawat Iswanto terdiri dari batangan besi yang di las sambung menyambung, sehingga secara keseluruhan seperti pesawat yang belum utuh. Kesengajaan ini sepenuhnya disadari Iswanto. Sebab, kalau kita meninjau aspek materialnya, batangan besi yang menghasilkan kerangka tersebut dibalut lampu neon. Pendaran warna biru neon tersebut membalut seluruh outline pesawat yang tidak saja menciptakan ilusi volume, tetapi juga menghalangi mata kita untuk menikmati kerasnya material besi tersebut. Perpaduan ini bisa kita baca pula sebagai konfrontasi internal antar material yang keras dengan pendaran cahaya.
Dalam mekanisme pemajangan karya seni patung konvensional, cahaya sungguh-sungguh dipertimbangkan untuk menghasilkan sensasi-sensasi kualitas (permukaan) sebuah patung. Sebaliknya Iswanto seperti sengaja menabrak konvensi ini dan kita diajak menikmati sensasi efek pendaran lampu berwarna biru yang lembut-halus, yang membalut kerangka besi. Perpaduan inilah yang akan mengantarkan pemahaman kita pada istilah ‘Blue’ yang dipakai sebagai judul pameran ini. Kerangka pesawat dengan material keras; pendaran lampu berwarna biru akhirnya membangun sebuah pemaknaan yang – seperti dikonsepsikan oleh Iswanto sendiri – sebagai perpaduan ironis antara kekerasan dan kelembutan, seolah-olah seperti penyamaran dari suatu peristiwa, suatu situasi yang menyiratkan kesenduan dibalik kekerasan, suatu situasi yang sarat dengan ambiguitas.
Pada gilirannya, kita tahu bahwa konstruksi pesawat Iswanto Hartono adalah replika pesawat F-117A Nighthawk, dikenal juga dengan sebutan Stealth Fighter atau pesawat siluman. Pesawat ini digunakan Amerika Serikat dalam Perang Teluk pada 1990-1991 untuk memerangi Irak ketika melakukan invasi terhadap Kuwait. Pesawat anti radar ini dikabarkan sebagai salah satu kunci sukses Amerika Serikat dan koalisinya untuk mengakhiri konflik di kawasan teluk. Cerita dibalik kesuksesan F-117A pada Perang Teluk juga membawa kabar lain, yaitu jatuhnya korban manusia dan rusaknya infrastruktur di Irak. Kondisi ini melahirkan pertanyaan: apakah arti sebuah kemenangan dalam perang?
Pertanyaan ini dijawab sendiri oleh Iswanto melalui karyanya yang lain berupa lampu LID berukuran 15 x 60 cm. Karya ini berisikan teks-teks yang bergerak secara berderet menghasilkan suatu kalimat yang mereleksikan pernyataan personal Iswanto mengenai perang. Di sana, Iswanto menyatakan bahwa Victory is Mellow sebagai kondisi paska perang yang penuh ironik dimana perang juga menciptakan kondisi psikis tertentu yang berada di ambang antara rasional dan irrasional. Kemenangan perang, dengan suasana sendu di pihak lain memang merepresentasikan kegamangan tersendiri. Situasi-situasi demikianlah kiranya yang ingin ditampilkan oleh Iswanto Hartono dalam totalitas karyanya.
Aminudin TH.Siregar